Seke adalah alat penangkap ikan
layang (Decapterus) yang sangat sederhana dan memiliki keanehan. Sebab hanya
anyaman bambu yang sudah dipotong dan dianyam sehingga menjadi satu jaring
(pukat/soma) tradisional berukuran panjang 25 meter, lebar 80 cm. Seke sebagai
alat penangkap ikan adalah pengembangan dari alat penangkap ikan berupa daun
kelapa yang dipintal pada sebuah tali dan ditarik kedua ujungnya samapi didarat
dengan membawa hasil ikan yang cukup untuk kebutuhan masyarakat waktu itu.
Dikembangkan menjadi seke nanti pada tahun 1678 atas perintah Raja Manganitu
yang bernama Martin Don Lazaru. Seke dikenal pada semua masyarakat yang
mendiami kepulauan yang lebih khusus diwilayah klaster Tatoareng terdiri dari
pulau-pulau kecil sebagai tempat atau sumber penghasil ikan layang. Secara
keseluruhan klaster ini merupakan suatu wilayah administrasi kecamatan
Tatoareng yang terdiri dari 6 desa (desa Para, Kahakitang, Mahengetang, Kalama,
Apeng Lawo, Salengkere).
Sejak awal munculnya Seke sebagai alat penangkap ikan maka pemimpin yang
dituakan adalah seorang yang bernama Tonaseng. Seorang tonaseng begitu disegani
dan sangat menentukan dalam pengambilan keputusan baik dalam masyarakat maupun
dalam jemaat. Termasuk pembuatan Seke itu tidak lepas dari pertimbangan dan
perhitungan Tonaseng.
Dilihat dari segi sosial, salah satu ciri khas dari seke adalah adanya
kehidupan bersama dari masyarakat yang peduli terhadap kepentingan umum yang
Nampak pada semua aktivitas kemasyarakatan. Hal yang sangat menunjang
kebersamaan adalah terciptanya system komunikasi yang rapih dimana setiap
rencana dan segala pekerjaan dengan mudah dilaksanakan. Karena itu Tonaseng
adalah penjelmaan seorang komunikator
Tonaseng adalah penjelmaan dari seorang komunikator dimana setiap peran yang
dimainkan langsung direspon oleh masyarakat sejauh hal tersebut selalu
mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan bersama.
Dari segi budaya, Seke (pandihe) merupakan karya unik leluhur yang diciptakan
berdasarkan konsep hikmat akal budi terpadu dengan ramahnya konteks dimana
kehidupan seimbang, serasi, selaras dapat dinikmati secara turun-temurun.
Peninggalan positif menjadi norma yang dipatuhi dengan penuh kesadaran jiwa
spontanitas menempatkannya sebagai suati budaya. Budaya yang dimaksud disini
adalah kebiasaan yang sukar diubah seperti cara hidup menghargai orang lain,
sebagai masyarakat yang saling menghargai martabat kemanusiaan maka sampai
sekarang salah satu budaya masih dipertahankan adalah kebiasaan membagi hasil
yang didapat dari pekerjaan seke dengan seimbang dan merata.
(sumber: 10 tema budaya “kearifan lokal sumber inspirasi spiritual moral, etik
masyarakat Sangihe” penulis Pdt. A. Makassar. MTh.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar