Rabu, Juni 11, 2014

"SEKE" (Alat Penangkap Ikan Tradisional Kaum Nelayan)

Seke adalah alat penangkap ikan layang (Decapterus) yang sangat sederhana dan memiliki keanehan. Sebab hanya anyaman bambu yang sudah dipotong dan dianyam sehingga menjadi satu jaring (pukat/soma) tradisional berukuran panjang 25 meter, lebar 80 cm. Seke sebagai alat penangkap ikan adalah pengembangan dari alat penangkap ikan berupa daun kelapa yang dipintal pada sebuah tali dan ditarik kedua ujungnya samapi didarat dengan membawa hasil ikan yang cukup untuk kebutuhan masyarakat waktu itu. Dikembangkan menjadi seke nanti pada tahun 1678 atas perintah Raja Manganitu yang bernama Martin Don Lazaru. Seke dikenal pada semua masyarakat yang mendiami kepulauan yang lebih khusus diwilayah klaster Tatoareng terdiri dari pulau-pulau kecil sebagai tempat atau sumber penghasil ikan layang. Secara keseluruhan klaster ini merupakan suatu wilayah administrasi kecamatan Tatoareng yang terdiri dari 6 desa (desa Para, Kahakitang, Mahengetang, Kalama, Apeng Lawo, Salengkere).
Sejak awal munculnya Seke sebagai alat penangkap ikan maka pemimpin yang dituakan adalah seorang yang bernama Tonaseng. Seorang tonaseng begitu disegani dan sangat menentukan dalam pengambilan keputusan baik dalam masyarakat maupun dalam jemaat. Termasuk pembuatan Seke itu tidak lepas dari pertimbangan dan perhitungan Tonaseng.

Dilihat dari segi sosial, salah satu ciri khas dari seke adalah adanya kehidupan bersama dari masyarakat yang peduli terhadap kepentingan umum yang Nampak pada semua aktivitas kemasyarakatan. Hal yang sangat menunjang kebersamaan adalah terciptanya system komunikasi yang rapih dimana setiap rencana dan segala pekerjaan dengan mudah dilaksanakan. Karena itu Tonaseng adalah penjelmaan seorang komunikator
Tonaseng adalah penjelmaan dari seorang komunikator dimana setiap peran yang dimainkan langsung direspon oleh masyarakat sejauh hal tersebut selalu mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan bersama.
Dari segi budaya, Seke (pandihe) merupakan karya unik leluhur yang diciptakan berdasarkan konsep hikmat akal budi terpadu dengan ramahnya konteks dimana kehidupan seimbang, serasi, selaras dapat dinikmati secara turun-temurun. Peninggalan positif menjadi norma yang dipatuhi dengan penuh kesadaran jiwa spontanitas menempatkannya sebagai suati budaya. Budaya yang dimaksud disini adalah kebiasaan yang sukar diubah seperti cara hidup menghargai orang lain, sebagai masyarakat yang saling menghargai martabat kemanusiaan maka sampai sekarang salah satu budaya masih dipertahankan adalah kebiasaan membagi hasil yang didapat dari pekerjaan seke dengan seimbang dan merata.

(sumber: 10 tema budaya “kearifan lokal sumber inspirasi spiritual moral, etik masyarakat Sangihe” penulis Pdt. A. Makassar. MTh.)

Diposkan oleh buletin sinasa di 12:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar